Minggu, 06 September 2009

Kopi Luwak Setumpuk Kotoran Berharga Emas

Kalau Anda salah seorang penggemar kopi, aneh rasanya kalau belum pernah mendengar kopi luwak. Jenis kopi asli Indonesia ini, konon merupakan jenis kopi termahal di dunia, bahkan sampai masuk ke Guiness Book of Records. Tidak heran,di pasaran dunia untuk sekilo kopi Luwak, orang harus membayar sekitar 13 juta rupiah. Sadis bukan..? Padahal kalau mendengar tentang proses “pengolahan” kopi Luwak, malah membuat orang jadi berpikir ulang untuk mengkonsumsinya.

Kopi Luwak adalah jenis kopi dari biji kopi yang telah dimakan dan melewati saluran pencernaan binatang sejenis musang bernama Luwak (Paradoxurus Hermaphrodirus). Kemasyhuran kopi ini telah terkenal sampai luar negeri. Dengan harga yang tentunya selangit. Saat diterbitkannya artikel ini harga kopi luwak telah mencapai 5 kali lipat dari kopi termahal sebelumnya yaitu kopi dengan brand Blue Mountain dari Jamaica.

Di Amerika Serikat, terdapat kafe atau kedai yang menjual kopi luwak (Civet Coffee) dengan harga yang sangat mahal. Kopi yang dikais dari kotoran luwak ini bisa mencapai harga AS$100 per 450 gram di Amerika. Di Hongkong secangkir kopi luwak dapat dibeli dengan harga 300-400 ribu rupiah. Sedangkan di Kota Medan dapat dibeli dalam kemasan 4 ons dengan harga 1,5 juta rupiah. Hanya saja kebenaran kopi yang dijual adalah benar-benar kopi luwak atau bukan, masih dipertentangkan. Khususnya bagi mereka yang mengkonsimsinya di luar Indonesia.

Kemasyhuran kopi ini diyakini karena mitos pada masa lalu, ketika perkebunan kopi dibuka besar-besaran di Indonesia pada masa pemerintahan Hindia Belanda sampai dekade 1950-an, di mana saat itu masih banyak terdapat binatang luwak sejenis musang. Binatang luwak senang sekali mencari buah buahan yang cukup baik termasuk buah kopi sebagai makanannya. Biji kopi dari buah kopi yang terbaik yang sangat digemari luwak, setelah dimakan dibuang beserta kotorannya, yang sebelumnya difermentasikan dalam perut luwak.

Habitat Luwak

Luwak yang suka di kopi

Biji kopi seperti ini, pada masa lalu sering diburu para petani kopi, karena diyakini berasal dari biji kopi terbaik dan difermentasikan secara alami. Dan menurut keyakinan, rasa kopi luwak ini memang benar benar berbeda dan spesial di kalangan para penggemar dan penikmat kopi.

Beberapa spesies luwak terdapat di Asia Tenggara, tetapi yang menghasilkan kopi dengan aroma terbaik adalah Luwak Indonesia (Paradoxurus Hermaphrodirus). Species ini berhabitat di Pulau Sumatra dan Jawa.

Secara tradisional petani memungut kotoran luwak di sepanjang Bukit Barisan dari Padang sampai Lampung , dan dari pegunungan Gayo (Aceh) sampai dengan Bukit Tinggi , serta di lereng Gunung Ijen di Jawa Timur. Di lokasi-lokasi itulah terdapat perkebunan kopi yang menjadi habitat luwak.

Produksi kopi luwak dari tahun ke tahun semakin merosot , dikarenakan luwak dianggap sebagai hama, atau binatang perusak, karena selain buah kopi, luwak juga pintar mengkonsumsi buah- buahan yang siap dipanen, seperti : Pisang, Coklat, Pepaya, dan buah segar lainnya. Perilaku yang demikian menjadikan luwak sebagai binatang yang diburu petani.

Pemeliharaan
Harganya yang tinggi membuat orang-orang di Indonesia berusaha mengembangkan usaha kopi luwak dengan cara berternak luwak sekaligus menanam kopi. Hasilnya, timbullah beberapa tempat atau produsen kopi luwak di Sumatera dan Jawa.

Memang tidak gampang dalam memelihara dan mengembangbiakkan binatang luwak tersebut. Dengan pengamatan dan pengalaman dari serangkaian proses percobaan yang panjang, akhirnya binatang tersebut bisa dipelihara dan dikembangbiakkan.

Binatang luwak / musang ( Paradoxurus Hermaphrodirus) termasuk binatang buas (Carnivora ) pemakan daging. Selain itu binatang ini juga menyukai buah – buahan seperti pisang , pepaya , jambu dan buah kopi. Karena pemakan daging, binatang ini cenderung berperilaku kanibal bila dikumpulkan dengan luwak yang lebih kecil, karenanya kandang dibuat satu per satu.

Seminggu sekali untuk menambah protein diberi daging ayam dan selama tidak ada buah kopi Luwak diberi makan buah-buahan. Pada musim kopi , binatang luwak dapat menghabiskan 0,88 - 1,15 Kg kopi glondong per hari. Buah kopi yang diberikan adalah buah kopi yang masak dan segar. Biji kopi yang dimakan mengalami proses fermentasi selama +/-12 jam dalam perut luwak yang mengandung berbagai macam enzim. Biji tersebut kemudian keluar bersama kotoran pada proses ekskresi.

Luwak adalah binatang yang suka tinggal di tempat yang bersih. Bahkan ketika membuang kotoranpun luwak memilih tempat yang bersih, misalnya di tanah yang kering, di atas bebatuan, dan di atas batang pohon yang tumbang. Karenanya, kandang pemeliharaan luwak harus dijaga kebersihannya setiap hari.

Luwak memakan buah kopi (Cherries). Pada buah kopi yang matang terdapat sejenis aroma yang sangat khas , wangi seperti buah anggur atau buah lechi sehingga disukai oleh luwak. Secara naluri luwak hanya memakan buah kopi yang benar-benar matang , dan punya aroma khusus.

Buah kopi yang dimakan oleh luwak, diproses melalui sistem pencernaan dan kemudian dikeluarkan dalam bentuk kotoran berupa gumpalan memanjang biji kopi yang bercampur lendir. Kotoran tersebut kemudian diambil biji kopinya, dibersihkan dengan dengan cara mencuci sehingga tersisa biji kopi yang masih utuh. Proses selanjutnya adalah dikeringkan dengan sinar matahari sehingga menjadi biji kopi luwak.

Proses pengolahan kopi luwak sama dengan pengolahan kopi umumnya. Perbedaannya hanya pada proses giling yang digantikan oleh luwak. Fermentasi terjadi di dalam perut luwak. Biji kopi tercampur dengan enzim – enzim yang ada dalam perut luwak. Suhu dalam perut yang mencapai > 26O C membantu proses fermentasi sempurna. Kedua keistimewaan ini menghasilkan aroma dan cita rasa kopi luwak yang enak dan khas disamping kelebihan – kelebihan yang lain.

Namun biar bagaimanapun baiknya pengolahan kopi luwak hasil pengembangbiakan, tetap saja orang beranggapan kopi luwak dari hasil fermentasi luwak liar lebih nikmat rasanya. Hingga dipasaran orang cenderung mencari kopi luwak bukan dari peternakan. Meskipun tak jelas kebenarannya.

Kopi luwak telah berulang kali diperlihatkan dalam beberapa film. Misalnya sebuah sinetron hongkong yang menceritakan, perjalanan seseorang dari Indonesia dengan membawa pulang kopi luwak sebagai oleh-oleh bagi rekan kerjanya. Lalu film-film produksi Hollywood yang dibintangi oleh aktor sekelas Jack Nicholson juga pernah mempertontonkan sang aktor meminum kopi luwak.

Hebatnya lagi, kepopuleran kopi asli Indonesia ini sempat menarik minat presenter kelas dunia Oprah Winfrey hingga pada tahun 2003, ia memperkenalkan dan memperagakan cara menyeduh kopi luwak dalam acara reality shownya yang sangat terkenal The Oprah Winfrey Show. Wow,..sebuah prestasi tinggi untuk setumpuk kopi yang keluar dalam bentuk kotoran seekor luwak.

sumber: harian global


Sejarah dan Perkembangan Gamelan Jawa

Bagi masyarakat Jawa khususnya, gamelan bukanlah sesuatu yang asing dalam kehidupan kesehariannya. Dengan kata lain, masyarakat tahu benar mana yang disebut gamelan atau seperangkat gamelan. Mereka telah mengenal istilah 'gamelan', 'karawitan', atau 'gangsa'. Namun barangkali masih banyak yang belum mengetahui bagaimana sejarah perkembangan gamelan itu sendiri, sejak kapan gamelan mulai ada di Jawa?.

Seorang sarjana berkebangsaan Belanda bernama Dr. J.L.A. Brandes secara teoritis mengatakan bahwa jauh sebelum datangnya pengaruh budaya India, bangsa Jawa telah rnemiliki ketrampilan budaya atau pengetahuan yang mencakup 10 butir (Brandes, 1889):

1. wayang,
2. gamelan,
3. ilmu irama sanjak,
4. batik,
5. pengerjaan logam,
6. sistem mata uang sendiri,
7. ilmu teknologi pelayaran,
8. astronomi,
9. pertanian sawah,
10. birokrasi pemerintahan yang teratur

Sepuluh butir ketrampilan budaya tersebut bukan dari pemberian bangsa Hindu dari India. Kalau teori itu benar berarti keberadaan gamelan dan wayang sudah ada sejak jaman prasejarah. Namun tahun yang tepat sulit diketahui karena pada masa prasejarah masyarakat belum mengenal sistem tulisan. Tidak ada bukti-bukti tertulis yang dapat dipakai untuk melacak dan merunut gamelan pada masa prasejarah.

Gamelan adalah produk budaya untuk memenuhi kebutuhan manusia akan kesenian. Kesenian merupakan salah satu unsur budaya yang bersifat universal. Ini berarti bahwa setiap bangsa dipastikan memiliki kesenian, namun wujudnya berbeda antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lain. Apabila antar bangsa terjadi kontak budaya maka keseniannya pun juga ikut berkontak sehingga dapat terjadi satu bangsa akan menyerap atau mengaruh bila unsur seni dari bangsa lain disesuaikan dengan kondisi seternpat. Oleh karena itu sejak keberadaan gamelan sampai sekarang telah terjadi perubahan dan perkembangan, khususnya dalam kelengkapan ansambelnya.

Istilah “karawitan” yang digunakan untuk merujuk pada kesenian gamelan banyak dipakai oleh kalangan masyarakat Jawa. Istilah tersebut mengalami perkembangan penggunaan maupun pemaknaannya. Banyak orang memaknai "karawitan" berangkat dari kata dasar “rawit” yang berarti kecil, halus atau rumit. Konon, di lingkungan kraton Surakarta, istilah karawitan pernah juga digunakan sebagai payung dari beberapa cabang kesenian seperti: tatah sungging, ukir, tari, hingga pedhalangan (Supanggah, 2002:5¬6).

Dalam pengertian yang sempit istilah karawitan dipakai untuk menyebut suatu jenis seni suara atau musik yang mengandung salah satu atau kedua unsur berikut (Supanggah, 2002:12):

1. menggunakan alat musik gamelan - sebagian atau seluruhnya baik berlaras
slendro atau pelog - sebagian atau semuanya.
2. menggunakan laras (tangga nada slendro) dan / atau pelog baik instrumental
gamelan atau non-gamelan maupun vocal atau campuran dari keduanya.

Gamelan Jawa sekarang ini bukan hanya dikenal di Indonesia saja, bahkan telah berkembang di luar negeri seperti di Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Canada. Karawitan telah 'mendunia'. Oleh karna itu cukup ironis apabila bangsa Jawa sebagai pewaris langsung malahan tidak mau peduli terhadap seni gamelan atau seni karawitan pada khususnya atau kebudayaan Jawa pada umumnya. Bangsa lain begitu tekunnya mempelajari gamelan Jawa, bahkan di beberapa negara memiliki seperangkat gamelan Jawa. Sudah selayaknya masyarakat Jawa menghargai karya agung nenek moyang sendiri.

Sumber data tentang gamelan

Kebudayaan Jawa setelah masa prasejarah memasuki era baru yaitu suatu masa ketika kebudayaan dari luar -dalam hal ini kebudayaan India- mulai berpengaruh. Kebudayaan Jawa mulai memasuki jaman sejarah yang ditandai dengan adanya sistem tulisan dalam kehidupan masyarakat. Dilihat dari perspektif historis selama kurun waktu antara abad VIll sampai abad XV Masehi kebudayaan Jawa, mendapat pengayaan unsur-unsur kebudayaan India. Tampaknya unsur-unsur budaya India juga dapat dilihat pada kesenian seperti gamelan dan seni tari. Transformasi budaya musik ke Jawa melalui jalur agama Hindu-Budha.

Data-data tentang keberadaan gamelan ditemukan di dalam sumber verbal yakni sumber - sumber tertulis yang berupa prasasti dan kitab-kitab kesusastraan yang berasal dari masa Hindu-Budha dan sumber piktorial berupa relief yang dipahatkan pada bangunan candi baik pada candi-candi yang berasal dari masa klasik Jawa Tengah (abad ke-7 sampai abad ke-10) dan candi-candi yang berasal dari masa klasik Jawa Timur yang lebih muda (abad ke-11 sampai abad ke¬15) (Haryono, 1985). Dalam sumber-sumber tertulis masa Jawa Timur kelompok ansambel gamelan dikatakan sebagai “tabeh - tabehan” (bahasa Jawa baru 'tabuh-tabuhan' atau 'tetabuhan' yang berarti segala sesuatu yang ditabuh atau dibunyikan dengan dipukul). Zoetmulder menjelaskan kata “gamèl” dengan alat musik perkusi yakni alat musik yang dipukul (1982). Dalam bahasa Jawa ada kata “gèmbèl” yang berarti 'alat pemukul'. Dalam bahasa Bali ada istilah 'gambèlan' yang kemudian mungkin menjadi istilah 'gamelan'. Istilah 'gamelan' telah disebut dalam kaitannya dengan musik. Namur dalam masa Kadiri (sekitar abad ke¬13 Masehi), seorang ahli musik Judith Becker malahan mengatakan bahwa kata 'gamelan' berasal dari nama seorang pendeta Burma dan seorang ahli besi bernama Gumlao. Kalau pendapat Becker ini benar adanya, tentunya istilah 'gamelan' dijumpai juga di Burma atau di beberapa daerah di Asia Tenggara daratan, namun ternyata tidak.

Gambaran instrument gamelan pada relief candi

Pada beberapa bagian dinding candi Borobudur dapat 17 dilihat jenis-jenis instrumen gamelan yaitu: kendang bertali yang dikalungkan di leher, kendang berbentuk seperti periuk, siter dan kecapi, simbal, suling, saron, gambang. Pada candi Lara Jonggrang (Prambanan) dapat dilihat gambar relief kendang silindris, kendang cembung, kendang bentuk periuk, simbal (kècèr), dan suling.

Gambar relief instrumen gamelan di candi-candi masa Jawa Timur dapat dijumpai pada candi Jago (abad ke -13 M) berupa alat musik petik: kecapi berleher panjang dan celempung. Sedangkan pada candi Ngrimbi (abad ke - 13 M) ada relief reyong (dua buah bonang pencon). Sementara itu relief gong besar dijumpai di candi Kedaton (abad ke-14 M), dan kendang silindris di candi Tegawangi (abad ke-14 M). Pada candi induk Panataran (abad ke-14 M) ada relief gong, bendhe, kemanak, kendang sejenis tambur; dan di pandapa teras relief gambang, reyong, serta simbal. Relief bendhe dan terompet ada pada candi Sukuh (abad ke-15 M).

Berdasarkan data-data pada relief dan kitab-kitab kesusastraan diperoleh petunjuk bahwa paling tidak ada pengaruh India terhadap keberadaan beberapa jenis gamelan Jawa. Keberadaan musik di India sangat erat dengan aktivitas keagamaan. Musik merupakan salah satu unsur penting dalam upacara keagamaan (Koentjaraningrat, 1985:42-45). Di dalam beberapa kitab-kitab kesastraan India seperti kitab Natya Sastra seni musik dan seni tari berfungsi untuk aktivitas upacara. keagamaan (Vatsyayan, 1968). Secara keseluruhan kelompok musik di India disebut 'vaditra' yang dikelompokkan menjadi 5 kelas, yakni:

1. tata (instrumen musik gesek),
2. begat (instrumen musik petik),
3. sushira (instrumen musik tiup),
4. dhola (kendang),
5. ghana (instrumen musik pukul).

Pengelompokan yang lain adalah:

1. Avanaddha vadya, bunyi yang dihasilkan oleh getaran selaput kulit karena
dipukul.
2. Ghana vadya, bunyi dihasilkan oleh getaran alat musik itu sendiri.
3. Sushira vadya, bunyi dihasilkan oleh getaran udara dengan ditiup.
4. Tata vadya, bunyi dihasilkan oleh getaran dawai yang dipetik atau digesek.

Klasifikasi tersebut dapat disamakan dengan membranofon (Avanaddha vadya), ideofon (Ghana vadya), aerofon (sushira vadya), kordofon (tata vadya). Irama musik di India disebut “laya” dibakukan dengan menggunakan pola 'tala' yang dilakukan dengan kendang. Irama tersebut dikelompokkan menjadi: druta (cepat), madhya (sedang), dan vilambita (lamban).

Berikut ini adalah pengklasifikasian instrumen gamelan:

1. Kelompok membranofon (Avanaddha vadya)
Kelompok membranofon adalah instrumen garnelan, yang suber bunyi ada pada selaput kulit atau bahan lainnya. Di dalam gamelan Jawa kelompok ini adalah jenis kendang. Dalam beberapa prasasti diperoleh bukti bahwa instrumen kelompok membranofon telah populer di Jawa sejak pertengahan abad ke-9 Masehi dengan nama: padahi, pataha (padaha), murawa atau muraba, mrdangga, mrdala, muraja, panawa, kahala, damaru, kendang.

Istilah 'padahi' tertua dapat dijumpai pada prasasti Kuburan Candi yang berangka tahun 821 Masehi (Goris, 1930). Istilah tersebut terus dipergunakan sampai pada jaman Majapahit sebagaimana dapat dibaca pada kitab Nagarakrtagama gubahan Mpu Prapanca tahun 1365 Masehi (Pigeaud, 1960). Bukan tidak mungkin bahwa instrumen musik jenis membranofon merupakan jenis instrumen gamelan yang telah ada sebelum adanya kontak budaya dengan India, yang digunakan pada acara-acara ritual. Dalam hal ini dapat dibandingkan dengan alat-alat musik yang dimiliki suku bangsa primitif yang pada umumnya dari kelompok membranofon. Di jaman kebudayaan logam prasejarah di Indonesia (kebudayaan perunggu) telah dikenal adanya jenis moko, nekara. Nekara pada zamannya berfungsi sebagai semacam genderang. Penulis tidak sependapat bahwa nekara dalarn perkembangannya kemudian menjadi gong.

Di India instrumen jenis kendang disebut dengan berbagai nama seperti: dundubhi, pataha, mridangga, panava, murawa, mrdala. dan telah dikenal sejak masa Weda. Jenis 'dundubhi' disebutkan sebagai 'kendang yang jika dipukul dapat mengalahkan musuh' (Vatsyayan, 1968:175). Di India kendang memainkan peran penting dalam upacara dan mengiringi pertunjukan tari sebagai mana disebutkan di dalam Natya Sastra. Mridangga termasuk sebagai jenis kendang yang utama. Murawa (muraba), mrdala, Mrdangga, (mridangga) barangkali berasal dari akar kata yang sama yakni "mrd" yang berarti 'tanah'.

Dalam mitologi disebutkan bahwa 'mrdangga' atau 'mrdala' diciptakan oleh Dewa Brahma untuk mengiringi tarian Dewa Siwa ketika berhasil mengalahkan raksasa Trusurapura (Popley, 1950:123; Haryono, 1986). Dalam kitab Natya Sastra dijumpai istilah bheri, bhambha, dindimas, yang mungkin juga masih termasuk sebagai kelompok instrumen kendang. Kemudian istilah bheri di Jawa sekarang menjadi kelompok ideofon yang disejajarkan dengan bendhe. Dalam beberapa kitab sastra Jawa kuno penyebutan bheri berdekatan dengan kata 'mrdangga, seperti dalam kitab Wirataparwa: ".. prasamanggwal bheri mrdangga, ajimur arok silih-wor ikang prang..." (artinya: “...sama-sama memikul bheri mrdangga, bercampur saling berbaur mereka yang berperang..."); "...humung tang bheri murawa..." (artinya: "Huh suara bheri dan murawa"). Dalam kitab Ramayana (abad X, Masehi) disebutkan: "...tinabih ikang bahiri ring taman..." ( "bheri, ditabuh di taman" ). Keterangan tersebut memberi kesan bahwa 'bahiri' atau 'bheri' masih dalam kelompok membranofon. Berdasarkan data-data yang dijumpai di kitab-kitab sastra, mrdala atau murawa merupakan instrumen yang sangat penting yang dikombinasikan dengan alat musik yang lain seperti sangkhakala, vina, baribit.

Penyebutan dengan berbagai nama menunjukkan adanya berbagai bentuk kendang dan bahan. Dalam seni arca kendang kecil yang dipegang oleh dewa disebut 'damaru'. Pada relief Candi Borobudur (awal abad ke-9 Masehi) dan Candi Siwa di Prambanan (pertengahan abad ke-9 Masehi) dilukiskan bermacam¬ - macam bentuk kendang (Haryono, 1985; 1986). Ada kendang bentuk silindris langsing, bentuk tong asimetris, bentuk kerucut. Pada pagar langkan candi Siwa (Prambanan) kendang ditempatkan di bawah perut dengan semacam tali. Pada candi-candi yang lebih muda dari sekitar abad ke-14 relief kendang dapat dilihat di candi-candi masa klasik muda (periode Jawa Timur) seperti: Candi Tegawangi, Candi Panataran. Di candi Tegawangi juga dijumpai relief seseorang membawa kendang bentuk silindris dengan tali yang dikalungkan pada kedua bahu. Di Candi Panataran relief kendang digambarkan hanya berselaput satu sisi dan ditabuh dengan menggunakan pemukul berujung bulat. Jaap Kunst (1968:35-36) menyebut instrumen musik ini 'dogdog'. Adanya kesamaan penyebutan kendang dalarn sumber tertulis Jawa Kuna dengan sumber tertulis di India membuktikan bahwa kontak budaya antara keduanya mencakup pula dalam bidang seni pertunjukan. Namun tidak berarti bahwa kendang Jawa adalah pengaruh kendang India.

Berdasarkan akar kata “mrd” maka kata “mredangga” dalam prasasti mungkin sekali adalah kendang yang dibuat dari tanah liat. Dalam perkembangan kemudian di Jawa kata “mredangga” menjadi “pradangga” dalam bahasa Jawa Baru yang berarti penabuh gamelan atau niyaga. Perubahan seperti ini terdapat juga pada kata 'kamsa' atau 'kangsa' yang berarti 'perunggu' kemudian di Jawa berubah menjadi 'gangsa' yang berarti 'gamelan'. Oleh karena itu pendapat yang mengatakan bahwa kata 'gangsa' berasal dari kata 'gasa' sebagai kata singkatan (akronim) dari kata 'tiga' + 'sedasa' atau 'tembaga' + 'rejasa' tidak berdasarkan pada hasil penelitian yang valid (Haryono, 2002; 2004:48). Penelitian metalurgis perunggu atas dasar komposisi unsur bahan juga tidak membuktikan adanya komposisi 'tiga' berbanding 'sedasa' (3:10). Sebagai contoh dapat ditunjukkan dari penelitian penults. Hasil penelitian komposisi unsur pada gamelan buatan Papringan (Yogyakarta) = Cu 52,87% : Sn 34,82% : Zn 12,55% ; adapun dari Bekonang (Surakarta) = Cu 48,80% : Sn 39,88% : Zn 10,86%; dan dari Kauman (Magetan) aJalah Cu 51,00% : Sn 40,26% : Zn 8,39%. Cu adalah tembaga, Sn untuk timah putih dan Zn untuk seng. Jelaslah bahwa komposisi tersebut tidak menggambarkan perbandingan 3 (tiga) : 10 (sedasa) seperti pendapat pada umumnya (Haryono, 2004:51-52).

Istilah 'gangsa' yang berarti gamelan sudah digunakan pada abad ke-12 Masehi seperti dijumpai dalam kitab Smaradahana (pupuh XXIX:8): "ginding daityaddhipati ya ta tinabih kendang, gong, gangsa, gubar asahuran...” artinya Gending dari Sang Raja Raksasa dibunyikan, kendang, gong, gangsa, dan gubar bersahut-sahutan (Poerbatjaraka, 1951; Sedyawati, 1985:236). Dalam gamelan sekarang yang disebut 'gambang gangsa' adalah jenis gambang yang dibuat dari bahan logam (perunggu atau kuningan).

Jenis instrumen membranofon lainnya adalah 'bedug' dan 'trebang'. Istilah 'bedug' dijumpai pada kitab yang lebih muda yakni Kidung Malat. Dalam Kakawin Hariwangsa, Ghatotkacasraya, dan Kidung Harsawijaya instrumen sejenis disebut dengan istilah “tipakan”. Selain itu ada istilah 'tabang-tabang' dalam kitab Ghatotkacasraya dan kitab Sumanasantaka yang mungkin kemudian berkembang menjadi istilah 'tribang'. Kutipan teks seperti berikut: "ginding sri saha damya-damyan anameni kidung miring ing tabang tabang" (Gatotkacasraya 37:7); "tabang-tabang ramya karingwangsulan". Jika ini benar berarti apa yang kita sebut 'trebang' maupun ‘bedhug’ bukan instrumen musik yang munculnya setelah datangnya kebudayaan Islam tetapi telah ada sejak abad ke-12 M (Zoetmulder, 1983:317-395).

2. Kelompok Ideofon (Ghana Vadhya)

Instrumen musik kelompok ini adalah jenis instrumen musik yang sumber bunyinya berasal dari 'badan' alat musik itu sendiri dan oleh para ahli musik digolongkan sebagai alat musik yang tertua jika dibandingkan dengan jenis yang lain (Ferdinandus, 1999). Beberapa di antara instrumen musik jenis ini yang dapat dijumpai dalam sumber-sumber tertulis (prasasti dan kitab sastra) adalah: tuwung, kangsi, rigang, curing, rojeh, brikuk, bungkuk, kamanak, gambang, calung, salunding, barung, ganding, gong.

Prasasti-prasasti masa Jawa Tengah (abad ke-9 Masehi) banyak rnenyebut istilah 'curing' 'regang, 'tuwung', 'brikuk', Curing dan tuwung merupakan jenis simbal. Curing barangkali sejenis simbal yang dibuat dari logam. Dalam prasasti Kuti tahun 762 Saka (840 Masehi) disebutkan: "Mangkana yan pamuja mangungkunga curing..." adapun jika mengadakan pemujaan, supaya menabuh curing. Kata “mangungkunga” dalam bahasa Jawa Baru sekarang masih dapat dijumpai sebagai tiruan bunyi gamelan 'ngungkung'. Jenis instrumen gamelan 'curing' ini sangat populer pada masa Jawa Kuna terbukti banyak disebutkan dalam prasasti penetapan Sima dari abad ke-9 sampai abad ke 12 Masehi. Dari data prasasti tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa perlengkapan gamelan dibunyikan dalam konteks ritual (upacara pemujaan).

Menurut Jaap Kunst (1968:52) 'curing' dan 'tuwung' adalah alat musik yang sama yaitu sama-sama jenis kicer. Nama instrumen gamelan 'celuring' sekarang ada pada gamelan di kraton Yogyakarta dan Pura Pakualaman. Mungkin 'celuring' berasal dari kata 'curing' mendapat sisipan 'el' untuk menyatakan jamak. Seandainya demikian maka gambaran bentuk 'curing' pada masa Jawa Kuna mungkin seperti 'celuring' sekarang atau 'celuring' sekarang ini merupakan perkembangan dari 'curing' dari masa Jawa Kuna. Sementara itu di beberapa kitab sastra disebutkan jenis instrumen gamelan 'rojeh' seperti dalam kitab Hariwangsa, Kresnayana, Sumanasantaka, Siwaratrikalpa, dan Kidung Harsawijaya. Instrumen gamelan ini ditafsirkan sejenis simbal. Demikian pula istilah 'baribit' disebut sebagai nama jenis instrumen gamelan dalam kitab Ramayana.

Nama 'brikuk' sebagai nama instrumen gamelan dijumpai dalam prasasti Panggumulan tahun 902 Masehi dan prasasti Lintakan 919 Masehi. Sedangkan dalam prasasti Paradah tahun 943 Masehi dijumpai istilah 'bungkuk'. Dalam gamelan sekarang ini ada nama 'ketuk'. Istilah 'ketuk' telah ada pada zaman Kadiri sebagaimana disebut dalam kitab Hariwangsa oleh Mpu Panuluh. Dalam kitab tersebut diceriterakan suasana keindahan alam ketika Rukmini dan Kresna dalam sebuah perjalanan yang diibaratkan sebagai pertunjukan wayang yang diiringi gamelan: salunding, kituk, dan talutak.

Uraian tersebut sekaligus merupakan gambaran bahwa pertunjukan wayang abad ke-12 diiringi ansambel gamelan yang masih sederhana. Mungkinkah 'brikuk' dan 'bungkuk' adalah instrumen gamelan 'pencon' seperti 'ketuk' dan ‘kenong’ sekarang? Menurut J. Kunst (1968:63) baik brikuk maupun bungkuk adalah penyebutan yang sama untuk satu jenis instrumen. Mungkin sekali brikuk, bungkuk, dan kituk adalah bentuk instumen gamelan yang sejenis. Bentuk instrumen gamelan pencu dipahatkan pada candi-candi masa Jawa Timur sekitar abad ke-14 Masehi dan sesudahnya seperti Candi Panataran, Candi Sukuh, dan Candi Ngrimbi.

Relief Instrumen gamelan berpencu di Panataran maupun Candi Ngrimbi barangkali dapat dinamakan 'reyong'. Instrumen ini dibunyikan dengan tongkat pendek dipegang dengan lengan kanan dan kiri. Dalam susunannya yang banyak dalam satu rancak kemudian menjadi 'bonang'. Kalau susunannya sedikit masing-masing dalam satu rancak dinamakan ‘kenong’. Dalam sumber tertulis istilah 'reyong' dijumpai dalam kitab Pararaton, sebuah kitab yang ditulis pada masa sesudah kerajaan Majapahit. Dalam sumber tertulis yang lebih tua yakni prasasti Polengan I tahun 870 Masehi disebut istilah ‘makajar’ yang berarti pemain kajar. Kajar adalah sejenis instrumen musik pencu.

Gong adalah jenis instrumen gamelan yang sangat penting pula. Dalam bentuk relief, sumber tertua dapat dilihat pada relief cerita Arjunawiwaha di Gua Selamangleng, Tulungagung, yang berasal dari abad ke- I I Masehi (Bernet Kernpers, 1959:87). Kemudian digambarkan pada relief cerita Bhornantaka di Candi Kedaton, dan relief Ramayana di Candi Panataran (abad ke 14 Masehi). Hal ini tidak berarti bahwa gong belum dikenal sebelum abad ke- 11. Dalam kitab Ramayana Jawa Kuna yang berasal dari abad ke-9 Masehi telah disebut-sebut 'gong' (Poerbatjaraka, 1926:265-272). Dalam berita Cina dari dinasti Tang (618-906 Masehi) disebutkan bahwa “jika raja Poli keluar kota, ia mengendarai kereta yang ditarik oleh gajah dan diiringi musik yang terdiri dari gong, kendang, dan terompet” (Haryono, 2001). Tampaknya instrumen gamelan yang sampai sekarang tetap bernarna 'gong' pada jaman abad ke-9 Masehi sebagai instrumen gamelan yang penting yang pada waktu itu mungkin penggunaannya terbatas di keraton sehingga oleh Kunst dikatakan sebagai 'royal instrument' (Kunst, 1968:66). Lagi pula, ditinjau dari teknik pembuatan, gong memerlukan teknik lebih rumit dan bahan yang lebih mahal sehingga tidak setiap kelompok masyarakat dapat rnemiliki.

Istilah 'gong' dalam hal ini digunakan untuk menyebut gong ukuran besar (gong gedhe); sedangkan untuk ukuran yang lebih kecil mungkin ada istilah lain seperti: gubar, bendhe, bheri. Istilah 'gong' juga dipakai untuk mewakili seluruh ansambel gamelan. Jika masyarakat Jawa mengatakan bahwa kalau punya hajatan akan 'nggantung gong' berarti akan menyelenggarakan 'klenengan'.

Dalam kitab Bharatayuddha disebutkan gending, gong, dan gubar dalam satu kelompok. Sangat menarik bahwa dalam Kidung Wangbang Wideya (dari masa kerajaan Kadiri) yang berisi cerita Panji disebutkan jenis gong dengan istilah 'gong Bentar Kadatwan'. Bersama-sama dengan gamelan yang lain yakni curing dan gong, dibunyikan untuk mengiringi pertunjukan wayang (Robson, 1977). Adapun 'gubar' ditafsirkan sebagai sejenis gong ukuran sedang. Dalam Bharatayuddha gubar disebut bersama-sama dengan sangkha dan saragi, dibunyikan oleh prajurit dalam peperangan. Dalam konteks 'gubar saragi' ,berarti istilah 'saragi' dapat juga berarti sejenis gong. Di Ternate kata 'saragi' berarti 'gong' (Haryono, 2001:107).

Gambang disebutkan dalam sumber tertulis kitab Malat, dan menurut berita Cina dari masa Dinasti Song (966-1279 Masehi) dikatakan bahwa pada masa pemerintahan Raja Jayabhaya dari Kadiri masyarakat Jawa telah dapat bermain seruling, kendang, dan xylophone (gambang) dari kayu (Groeneveldt, 1960:17). Dalam sumber-sumber tertulis yang lain seperti kitab Sumanasantaka, prasasti Buwahan abad ke-11 Masehi, prasasti Pura Kehen (abad ke-12 Masehi) disebut istilah 'calung' dan istilah 'galunggang' dan 'garantung' dalam sumber yang lain. Istilah 'gender' mulai disebut pada zaman Kadiri yakni dalam Kidung Wangbang Wideya yang digunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang bersama dengan ridip dan gong. Instrumen gamelan yang terdiri atas bilah-bilah (wilahan) yang dirangkai telah ada pada masa Candi Borobudur (abad ke-9 Masehi). Relief seperti tersebut juga dapat dilihat pada candi yang lebih muda yakni Candi Panataran. Kalau gambang sudah dikenal mestinya jenis saron juga sudah dikenal.

Barangkali relief yang dipahatkan pada candi Borobudur menggambarkan saron bukan gambang. Istilah 'saron' baru ditemukan dalarn sumber tertulis setelah abad ke-15 Masehi (kitab Arjunapralabda) Dalam sumber tertulis ada istilah 'barung' yang ditafsirkan sebagai 'saron' (Juynboll, 1923:401). Dalam kitab Bharatayuddha, Gahtotkacasraya, dan Hariwangsa serta beberapa prasasti Bali kuno abad ke 12 Masehi dijumpai istilah 'salunding'. Gamelan 'salunding' sampai sekarang masih dapat dijumpai di Bali.

Instrumen gamelan berikutnya yang cukup tua keberadaannya adalah 'kemanak'. Dalam kakawin Bharatayuddha, kitab Calon Arang, disebutkan 'kamanak' bersama-sama dengan 'kangsi'. Bahkan dalam kitab Calon Arang dikatakan bahwa kamanak dan kangsi dipakai untuk mengiringi tarian sakral yang di lakukan oleh Calon Arang dan murid-muridnya.

3. Kelompok Aerofon (Sushira Vadya)

Jenis instrument yang termasuk kelompok ini adalah gamelan yang sumber bunyinya adalah udara yang ditiup. Pada ansambel gamelan Jawa sekarang ini seruling merupakan kelengkapan dalam gamelan klenengan atau uyon-uyon. Dalam kitab Natya Sastra seruling (suling) disebut dengan istilah 'vamsa' yang artinya 'bambu' dan dibunyikan bersama-sama dengan ‘vino’ (wina). Bukti piktorial keberadaan suling pada masa Jawa kuno dapat dilihat pada relief di Candi Borobudur pada relief Karmawibhangga, relief Jataka, dan Lalitawistara. Selain itu terdapat juga pada relief di Candi Jago dan Candi Panataran.

Berdasarkan data relief tersebut dapat dibedakan dua macam seruling yaitu seruling melintang (suling miring) dan seruling membujur (vertikal). Dalam sumber tertulis seruling disebut dalam kitab Ramayana Jawa Kuna dengan istilah ‘bangsi’ dan dibunyikan bersama-sama dengan instrumen rawandsta. Kata 'bangsi', ‘wangsi’ sangat boleh jadi berasal dari kata yang sama Sanskrta 'vamsa'. Dalam kitab yang lebih muda yakni Writtasancaya karya Mpu Tanakung disebut dengan istilah 'suling'. Kitab Ramayana Jawa Kuna juga telah menyebutkan istilah 'suling'. Demikian pula di Bali, dalam prasasti Batur Pura Abang A tahun 1011 Masehi disebut 'suling'. Ini berarti bahwa sejak abad ke-11 suling telah masuk dalam kelengkapan gamelan.

Selain seruling dalam sumber tertulis maupun relief ada alat musik tiup yakni terompet yang disebut ‘sangkha’. Sangkha adalah kerang laut dan sebagai alat musik tiup telah lama digunakan di India. Dalam ikonografi Hindu, sangkha merupakan atribut Dewa Wisnu, Kresna. Dalam relief Ramayana di Candi Brahma (Prambanan) sangkha ditiup untuk membangunkan Kumbakarna yang tidur. Dalam Nagarakrtagama (masa Majapahit) disebutkan “gumang kahala sangka lan padaha ganjuran....” artinya: “gemuruh suara kahala sangka dan kendang, ganjuran...” (pupuh 65:1). Dalam kitab Ramayana disebut dengan 'kalasangkha' dan dalam kitab Wirataparwa disebut 'sangkhakahala' (Kunst, 1968). Istilah 'kahala sangka' dan 'sangkha kahala' sekarang menjadi 'sangkakala; sedangkan 'ganjuran' sebagai instrumen gamelan barangkali sejenis genderang (?). Istilah gamelan Kala Ganjur sekarang ini berasal dari kata 'kahala' dan 'ganjur', istilah yang telah ada sejak zaman Majapahit. Jenis terompet yang lain adalah ‘pereret’ sebagaimana disebut dalam Kidung Ranggalawe.

4. Kelompok Kordofon (Tata Vadya)

Instrumen gamelan yang termasuk dalam kelompok ini pada gamelan Jawa sekarang disebut dengan istilah siter, celempung, dan rebab. Istilah celempung pertama kali dijumpai dalam sumber tertulis Hikayat Cekelwanengpati. Pada relief di Candi Jago dilukiskan gambar seseorang yang sedang memainkan celempung. Dalam Kidung Wangbang Wideya disebut instrumen gamelan 'samepa' dan gamelan ini ditafsirkan sebagai 'rebab' (Kunst, 1968). Sementara itu 'kachapi' disebutkan dalam Kidung Hausa Wijaya bersama-sama dengan gamelan lainnya yakni: gong, ridip, dan ginding.

Prasasti-prasasti Jawa Kuna menyebutkan istilah 'wina, 'rawanahasta' dan ‘panday rawanahasta'. Kata 'rawanahasta' berarti 'tangan rawana' dan ‘panday rawanahasta' berarti 'tukang membuat rawanahasta'. Rawanahasta ditafsirkan sebagai instrumen gamelan berdawal sejenis lute yang berbentuk seperti tangan (Kunst, 1968; Sarkar, 1972). Kitab Ramayana Jawa Kuna menyebutkan: 'makinara' dan ‘malawuwina’. Lawuwina artinya wina yang berbentuk seperti buah labu. Harpa tampaknya telah digunakan pada masa lampau seperti terlihat pada relief di Candi Borobudur dan di pemandian Jalatunda (Jawa Timur). Demikian pula ada beberapa arca logam yang yang ditemukan di Nganjuk dan Suracala (Yogyakarta) yang menggambarkan dewi memegang alat musik petik.

Demikian sekilas tentang Sejarah dan Perkembangan Gamelan Jawa

*artikel dari Prof. Dr. Timbul Haryono, M.Sc. (KRA. Haryono Hadiningrat)

Budayawan Jawa, Guru Besar dalam Ilmu Arkeologi pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Anggota Dewan Pakar Lembaga Studi Jawa 'Sekar Jagad' - lahir di Klaten, 5 Oktober 1945. Tinggal di Prambanan Klaten

*tulisan KRA Haryono Hadiningrat (Prof. Dr. Timbul Haryono, MSc) arkeolog, tinggal di Prambanan, Yogyakarta. Pernah dimuat di Majalah Sasmita edisi I tahun 2007.

Jumat, 27 Maret 2009

Kanjeng Ratu Kidul : Putri Cantik Penjaga Pantai Selatan

Kanjeng Ratu Kidul

Di suatu masa, hiduplah seorang putri cantik bernama Kadita. Karena kecantikannya, ia pun dipanggil Dewi Srengenge yang berarti matahari yang indah. Dewi Srengenge adalah anak dari Raja Munding Wangi. Meskipun sang raja mempunyai seorang putri yang cantik, ia selalu bersedih karena sebenarnya ia selalu berharap mempunyai anak laki-laki. Raja pun kemudian menikah dengan Dewi Mutiara, dan mendapatkan putra dari perkimpoian tersebut. Maka, bahagialah sang raja.

Dewi Mutiara ingin agar kelak putranya itu menjadi raja, dan ia pun berusaha agar keinginannya itu terwujud. Kemudian Dewi Mutiara datang menghadap raja, dan meminta agar sang raja menyuruh putrinya pergi dari istana. Sudah tentu raja menolak. "Sangat menggelikan. Saya tidak akan membiarkan siapapun yang ingin bertindak kasar pada putriku", kata Raja Munding Wangi. Mendengar jawaban itu, Dewi Mutiara pun tersenyum dan berkata manis sampai raja tidak marah lagi kepadanya. Tapi walaupun demikian, dia tetap berniat mewujudkan keinginannya itu.

Pada pagi harinya, sebelum matahari terbit, Dewi Mutiara mengutus pembantunya untuk memanggil seorang dukun. Dia ingin sang dukun mengutuk Kadita, anak tirinya. "Aku ingin tubuhnya yang cantik penuh dengan kudis dan gatal-gatal. Bila engkau berhasil, maka aku akan memberikan suatu imbalan yang tak pernah kau bayangkan sebelumnya." Sang dukun menuruti perintah sang ratu. Pada malam harinya, tubuh Kadita telah dipenuhi dengan kudis dan gatal-gatal. Ketika dia terbangun, dia menyadari tubuhnya berbau busuk dan dipenuhi dengan bisul. Puteri yang cantik itu pun menangis dan tak tahu harus berbuat apa.

Ketika Raja mendengar kabar itu, beliau menjadi sangat sedih dan mengundang banyak tabib untuk menyembuhkan penyakit putrinya. Beliau sadar bahwa penyakit putrinya itu tidak wajar, seseorang pasti telah mengutuk atau mengguna-gunainya. Masalah pun menjadi semakin rumit ketika Ratu Dewi Mutiara memaksanya untuk mengusir puterinya. "Puterimu akan mendatangkan kesialan bagi seluruh negeri," kata Dewi Mutiara. Karena Raja tidak menginginkan puterinya menjadi gunjingan di seluruh negeri, akhirnya beliau terpaksa menyetujui usul Ratu Mutiara untuk mengirim putrinya ke luar dari negeri itu.

Puteri yang malang itu pun pergi sendirian, tanpa tahu kemana harus pergi. Dia hampir tidak dapat menangis lagi. Dia memang memiliki hati yang mulia. Dia tidak menyimpan dendam kepada ibu tirinya, malahan ia selalu meminta agar Tuhan mendampinginya dalam menanggung penderitaan..

Hampir tujuh hari dan tujuh malam dia berjalan sampai akhirnya tiba di Samudera Selatan. Dia memandang samudera itu. Airnya bersih dan jernih, tidak seperti samudera lainnya yang airnya biru atau hijau. Dia melompat ke dalam air dan berenang. Tiba-tiba, ketika air Samudera Selatan itu menyentuh kulitnya, mukjizat terjadi. Bisulnya lenyap dan tak ada tanda-tanda bahwa dia pernah kudisan atau gatal-gatal. Malahan, dia menjadi lebih cantik daripada sebelumnya. Bukan hanya itu, kini dia memiliki kuasa untuk memerintah seisi Samudera Selatan. Kini ia menjadi seorang peri yang disebut Nyi Roro Kidul atau Ratu Pantai Samudera Selatan yang hidup selamanya.

Kanjeng Ratu Kidul = Ratna Suwinda

Tersebut dalam Babad Tanah Jawi (abad ke-19), seorang pangeran dari Kerajaan Pajajaran, Joko Suruh, bertemu dengan seorang pertapa yang memerintahkan agar dia menemukan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Karena sang pertapa adalah seorang wanita muda yang cantik, Joko Suruh pun jatuh cinta kepadanya. Tapi sang pertapa yang ternyata merupakan bibi dari Joko Suruh, bernama Ratna Suwida, menolak cintanya. Ketika muda, Ratna Suwida mengasingkan diri untuk bertapa di sebuah bukit. Kemudian ia pergi ke pantai selatan Jawa dan menjadi penguasa spiritual di sana. Ia berkata kepada pangeran, jika keturunan pangeran menjadi penguasa di kerajaan yang terletak di dekat Gunung Merapi, ia akan menikahi seluruh penguasa secara bergantian.

Generasi selanjutnya, Panembahan Senopati, pendiri Kerajaan Mataram Ke-2, mengasingkan diri ke Pantai Selatan, untuk mengumpulkan seluruh energinya, dalam upaya mempersiapkan kampanye militer melawan kerajaan utara. Meditasinya menarik perhatian Kanjeng Ratu Kidul dan dia berjanji untuk membantunya. Selama tiga hari dan tiga malam dia mempelajari rahasia perang dan pemerintahan, dan intrik-intrik cinta di istana bawah airnya, hingga akhirnya muncul dari Laut Parangkusumo, kini Yogyakarta Selatan. Sejak saat itu, Ratu Kidul dilaporkan berhubungan erat dengan keturunan Senopati yang berkuasa, dan sesajian dipersembahkan untuknya di tempat ini setiap tahun melalui perwakilan istana Solo dan Yogyakarta.

Begitulah dua buah kisah atau legenda mengenai Kanjeng Ratu Kidul, atau Nyi Roro Kidul, atau Ratu Pantai Selatan. Versi pertama diambil dari buku Cerita Rakyat dari Yogyakarta dan versi yang kedua terdapat dalam Babad Tanah Jawi. Kedua cerita tersebut memang berbeda, tapi anda jangan bingung. Anda tidak perlu pusing memilih, mana dari keduanya yang paling benar. Cerita-cerita di atas hanyalah sebuah pengatar bagi tulisan selanjutnya.

Kanjeng Ratu Kidul dan Keraton Yogyakarta

Percayakah anda dengan cerita tentang Kanjeng Ratu Kidul, atau Nyi Roro Kidul, atau Ratu Pantai Selatan? Sebagian dari anda mungkin akan berkata TIDAK. Tapi coba tanyakan kepada mereka yang hidup dalam zaman atau lingkungan Keraton Yogyakarta. Mereka yakin dengan kebenaran cerita ini. Kebenaran akan cerita Kanjeng Ratu Kidul memang masih tetap menjadi polemik. Tapi terlepas dari polemik tersebut, ada sebuah fenomena yang nyata, bahwa mitos Ratu Kidul memang memiliki relevansi dengan eksistensi Keraton Yogyakarta. Hubungan antara Kanjeng Ratu Kidul dengan Keraton Yogyakarta paling tidak tercantum dalam Babad Tanah Jawi (cerita tentang kanjeng Ratu Kidul di atas, versi kedua). Hubungan seperti apa yang terjalin di antara keduanya?

Y. Argo Twikromo dalam bukunya berjudul Ratu Kidul menyebutkan bahwa masyarakat adalah sebuah komunitas tradisi yang mementingkan keharmonisan, keselarasan dan keseimbangan hidup. Karena hidup ini tidak terlepas dari lingkungan alam sekitar, maka memfungsikan dan memaknai lingkungan alam sangat penting dilakukan.

Sebagai sebuah hubungan komunikasi timbal balik dengan lingkungan yang menurut masyarakat Jawa mempunyai kekuatan yang lebih kuat, masih menurut Twikromo, maka penggunaan simbol pun sering diaktualisasikan. Jika dihubungkan dengan makhluk halus, maka Javanisme mengenal penguasa makhluk halus seperti penguasa Gunung Merapi, penguasa Gunung Lawu, Kayangan nDelpin, dan Laut Selatan. Penguasa Laut Selatan inilah yang oleh orang Jawa disebut Kanjeng Ratu Kidul. Keempat penguasa tersebut mengitari Kesultanan Yogyakarta. Dan untuk mencapai keharmonisan, keselarasan dan keseimbangan dalam masyarakat, maka raja harus mengadakan komunikasi dengan "makhluk-makhluk halus" tersebut.

Menurut Twikromo, bagi raja Jawa berkomunikasi dengan Ratu Kidul adalah sebagai salah satu kekuatan batin dalam mengelola negara. Sebagai kekuatan datan kasat mata (tak terlihat oleh mata), Kanjeng Ratu Kidul harus dimintai restu dalam kegiatan sehari-hari untuk mendapatkan keselamatan dan ketenteraman.

Kepercayaan terhadap Ratu Kidul ini diaktualisasikan dengan baik. Pada kegiatan labuhan misalnya, sebuah upacara tradisional keraton yang dilaksanakan di tepi laut di selatan Yogyakarta, yang diadakan tiap ulang tahun Sri Sultan Hamengkubuwono, menurut perhitungan tahun Saka (tahun Jawa). Upacara ini bertujuan untuk kesejahteraan sultan dan masyarakat Yogyakarta.

Kepercayaan terhadap Kanjeng Ratu Kidul juga diwujudkan lewat tari Bedaya Lambangsari dan Bedaya Semang yang diselenggarakan untuk menghormati serta memperingati Sang Ratu. Bukti lainnya adalah dengan didirikannya sebuah bangunan di Komplek Taman Sari (Istana di Bawah Air), sekitar 1 km sebelah barat Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, yang dinamakan Sumur Gumuling. Tempat ini diyakini sebagai tempat pertemuan sultan dengan Ratu Pantai Selatan, Kanjeng Ratu Kidul.
Penghayatan mitos Kanjeng Ratu Kidul tersebut tidak hanya diyakini dan dilaksanakan oleh pihak keraton saja, tapi juga oleh masyarakat pada umumnya di wilayah kesultanan. Salah satu buktinya adalah adanya kepercayaan bahwa jika orang hilang di Pantai Parangtritis, maka orang tersebut hilang karena "diambil" oleh sang Ratu.

Selain Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, mitos Kanjeng Ratu Kidul juga diyakini oleh saudara mereka, Keraton Surakarta Hadiningrat. Dalam Babad Tanah Jawi memang disebutkan bahwa Kanjeng Ratu Kidul pernah berjanji kepada Panembahan Senopati, penguasa pertama Kerajaan Mataram, untuk menjaga Kerajaan Mataram, para sultan, keluarga kerajaan, dan masyarakat dari malapetaka. Dan karena kedua keraton (Yogyakarta dan Surakarta) memiliki leluhur yang sama (Kerajaan Mataram), maka seperti halnya Keraton Yogyakarta, Keraton Surakarta juga melaksanakan berbagai bentuk penghayatan mereka kepada Kanjeng Ratu Kidul. Salah satunya adalah pementasan tari yang paling sakral di keraton, Bedoyo Ketawang, yang diselenggarakan setahun sekali pada saat peringatan hari penobatan para raja. Sembilan orang penari yang mengenakan pakaian tradisional pengantin Jawa mengundang Ratu Kidul untuk datang dan menikahi susuhunan, dan kabarnya sang Ratu kemudian secara gaib muncul dalam wujud penari kesepuluh yang nampak berkilauan.

Kepercayaan terhadap Ratu Kidul ternyata juga meluas sampai ke daerah Jawa Barat. Anda pasti pernah mendengar, bahwa ada sebuah kamar khusus (nomor 308) di lantai atas Samudera Beach Hotel, Pelabuhan Ratu, yang disajikan khusus untuk Ratu Kidul. Siapapun yang ingin bertemu dengan sang Ratu, bisa masuk ke ruangan ini, tapi harus melalui seorang perantara yang menyajikan persembahan buat sang Ratu. Pengkhususan kamar ini adalah salah satu simbol 'gaib' yang dipakai oleh mantan presiden Soekarno.

Sampai sekarang, di masa yang sangat modern ini, legenda Kanjeng Ratu Kidul, atau Nyi Roro Kidul, atau Ratu Pantai Selatan, adalah legenda yang paling spektakuler. Bahkan ketika anda membaca kisah ini, banyak orang dari Indonesia atau negara lain mengakui bahwa mereka telah bertemu ratu peri yang cantik mengenakan pakaian tradisional Jawa. Salah satu orang yang dikabarkan juga pernah menyaksikan secara langsung wujud sang Ratu adalah sang maestro pelukis Indonesia, (almarhum) Affandi. Pengalamannya itu kemudian ia tuangkan dalam sebuah lukisan.

Rabu, 25 Maret 2009

Tips dan Trik Merawat Batik


Ada beberapa hal yang perlu Anda perhatikan agar busana atau kain batik Anda tetap indah, diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Mencuci kain batik dengan menggunakan shampo rambut. Sebelumnya, larutkan dulu shampo hingga tak ada lagi bagian yang mengental. Setelah itu baru kain batik dicelupkan. Anda juga bisa menggunakan sabun pencuci khusus untuk kain batik yang dijual di pasaran.

2. Pada saat mencuci batik jangan digosok dan jangan gunakan deterjen. Jika batik Anda tidak terlalu kotor maka Anda bisa mencucinya dengan air hangat. Tapi jika batik Anda terkena noda maka Anda bisa mencucinya cukup dengan sabun mandi saja. Akan tetapi jika nodanya masih membandel maka Anda bisa menghilangkannya dengan kulit jeruk pada bagian yang kotor saja. Janganlah mencuci kain batik dengan menggunakan mesin cuci.

3. Setelah kotoran hilang Anda harus menjemurnya di tempat yang teduh tetapi Anda tidak perlu memerasnya, biarkan saja kain tersebut mengering secara alami. Pada saat menjemur sebaiknya Anda tarik bagian tepi kain agar serat kain yang terlipat kembali seperti sediakala.

4. Hindari penyetrikaan secara langsung, jika terlalu kusut Anda bisa semprotkan air di atas kain batik Anda lalu lapisi batik Anda dengan kain lainnya. Hal ini untuk menghindari kain batik Anda terkena panas langsung dari setrikaan.

5. Bila Anda ingin memberi pewangi dan pelembut kain pada batik tulis, jangan disemprotkan langsung pada kainnya. Sebelumnya, tutupi dulu kain dengan koran, lalu semprotkan cairan pewangi dan pelembut kain. Sebaiknya Anda tidak menyemprotkan parfum atau minyak wangi langsung ke kain atau pakaian berbahan batik sutera berpewarna alami.

6. Sesudah disetrika sebaiknya Anda simpan batik Anda dalam plastik agar tidak dimakan ngengat. Sebaiknya Anda jangan memberi kapur barus karena zat padat ini terlalu keras sehingga bisa merusak kain batik Anda. Ada baiknya Anda beri merica atau lada yang dibungkus dengan tisu lalu masukkan dalam lemari pakaian Anda untuk mengusir ngengat. Atau Anda bisa menggunakan akar wangi yang sebelumnya Anda celup ke dalam air panas kemudian dijemur, lalu dicelup sekali lagi ke dalam air panas dan dijemur. Setelah akar wangi tersebut kering Anda baru bisa menggunakannya.

Sekilas Tentang Batik

Sekilas Tentang Batik
Batik adalah seni gambar diatas kain untuk pakaian yang dibuat dengan tehnik resist menggunakan material lilin. Kata batik berasal dari bahasa Jawa yang berarti menulis. Teknik membatik telah dikenal sejak ribuan tahun yang silam. Tidak ada keterangan sejarah yang cukup jelas tentang asal usul batik. Ada yang menduga teknik ini berasal dari bangsa Sumeria, kemudian dikembangkan di Jawa setelah dibawa oleh para pedagang India. Batick, bathik, battik, batique dan batek serta batix adalah sebutan lain batik. Saat ini batik bisa ditemukan di banyak negara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, India, Sri Lanka dan Iran. Selain di Asia, batik juga sangat populer di beberapa negara di benua Afrika. Walaupun demikian, batik yang sangat terkenal di dunia adalah batik yang berasal dari Indonesia dan Pekalongan merupakan ikon perkembangan batik nasional sehingga mendapat julukan sebagai KOTA BATIK

Batik Dimasa Kini

Tradisi membatik pada mulanya merupakan tradisi keluarga raja-raja Indonesia dizaman dahulu. Pada masa itu batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka seni batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempat masing-masing.Dalam perkembangannya, batik yang dulu merupakan simbol feodalisme Jawa dimana ada batik untuk raja dan keluarganya serta batik untuk orang kebanyakan, lambat laun kerajinan batik yang disebut dengan batik tulis ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pakaian rakyat yang sangat digemari, baik pria maupun wanita. Semula batik hanya dibuat di atas bahan dengan warna putih yang terbuat dari kapas yang dinamakan kain mori. Dewasa ini batik yang sudah menjadi kain tradisional Indonesia juga dibuat di atas bahan lain seperti sutera, poliester, rayon dan bahan sintetis lainnya. Disamping itu, cara pembuatannya juga mengalami perubahan. Selain batik tulis, yaitu batik yang motif batiknya dibentuk dengan tangan, kini juga ada batik cap, batik printing, batik painting dan sablon.


Sejarah Batik Indonesia

Batik secara historis berasal dari zaman nenek moyang yang dikenal sejak abad XVII yang ditulis dan dilukis pada daun lontar. Saat itu motif atau pola batik masih didominasi dengan bentuk binatang dan tanaman. Namun dalam sejarah perkembangannya batik mengalami perkembangan, yaitu dari corak-corak lukisan binatang dan tanaman lambat laun beralih pada motif abstrak yang menyerupai awan, relief candi, wayang beber dan sebagainya. Selanjutnya melalui penggabungan corak lukisan dengan seni dekorasi pakaian, muncul seni batik tulis seperti yang kita kenal sekarang ini.

Jenis dan corak batik tradisional tergolong amat banyak, namun corak dan variasinya sesuai dengan filosofi dan budaya masing-masing daerah yang amat beragam. Khasanah budaya Bangsa Indonesia yang demikian kaya telah mendorong lahirnya berbagai corak dan jenis batik tradisioanal dengan ciri kekhususannya sendiri.

Perkembangan Batik di Indonesia

Sejarah pembatikan di Indonesia berkaitan dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan kerajaan sesudahnya. Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerajaan Solo dan Yogyakarta.

Kesenian batik merupakan kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluarga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing.
Dalam perkembangannya lambat laun kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga istana, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria.

Bahan kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah hasil tenunan sendiri. Sedang bahan-bahan pewarna yang dipakai terdiri dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari : pohon mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta garamnya dibuat dari tanah lumpur.

Jadi kerajinan batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerajaan Majapahit dan terus berkembang hingga kerajaan berikutnya. Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad ke-XX dan batik cap dikenal baru setelah usai perang dunia kesatu atau sekitar tahun 1920. Kini batik sudah menjadi bagian pakaian tradisional Indonesia.

Batik Pekalongan

Meskipun tidak ada catatan resmi kapan batik mulai dikenal di Pekalongan, namun menurut perkiraan batik sudah ada di Pekalongan sekitar tahun 1800. Bahkan menurut data yang tercatat di Deperindag, motif batik itu ada yang dibuat 1802, seperti motif pohon kecil berupa bahan baju.

Namun perkembangan yang signifikan diperkirakan terjadi setelah perang besar pada tahun 1825-1830 di kerajaan Mataram yang sering disebut dengan perang Diponegoro atau perang Jawa. Dengan terjadinya peperangan ini mendesak keluarga kraton serta para pengikutnya banyak yang meninggalkan daerah kerajaan. Mereka kemudian tersebar ke arah Timur dan Barat. Kemudian di daerah - daerah baru itu para keluarga dan pengikutnya mengembangkan batik.

Ke timur batik Solo dan Yogyakarta menyempurnakan corak batik yang telah ada di Mojokerto serta Tulungagung hingga menyebar ke Gresik, Surabaya dan Madura. Sedang ke arah Barat batik berkembang di Banyumas, Kebumen, Tegal, Cirebon dan Pekalongan. Dengan adanya migrasi ini, maka batik Pekalongan yang telah ada sebelumnya semakin berkembang.

Seiring berjalannya waktu, Batik Pekalongan mengalami perkembangan pesat dibandingkan dengan daerah lain. Di daerah ini batik berkembang di sekitar daerah pantai, yaitu di daerah Pekalongan kota dan daerah Buaran, Pekajangan serta Wonopringgo.

Perjumpaan masyarakat Pekalongan dengan berbagai bangsa seperti Cina, Belanda, Arab, India, Melayu dan Jepang pada zaman lampau telah mewarnai dinamika pada motif dan tata warna seni batik.

Sehubungan dengan itu beberapa jenis motif batik hasil pengaruh dari berbagai negara tersebut yang kemudian dikenal sebagai identitas batik Pekalongan. Motif itu, yaitu batik Jlamprang, diilhami dari Negeri India dan Arab. Lalu batik Encim dan Klengenan, dipengaruhi oleh peranakan Cina. Batik Belanda, batik Pagi Sore, dan batik Hokokai, tumbuh pesat sejak pendudukan Jepang.

Perkembangan budaya teknik cetak motif tutup celup dengan menggunakan malam (lilin) di atas kain yang kemudian disebut batik, memang tak bisa dilepaskan dari pengaruh negara-negara itu. Ini memperlihatkan konteks kelenturan batik dari masa ke masa.

Batik Pekalongan menjadi sangat khas karena bertopang sepenuhnya pada ratusan pengusaha kecil, bukan pada segelintir pengusaha bermodal besar. Sejak berpuluh tahun lampau hingga sekarang, sebagian besar proses produksi batik Pekalongan dikerjakan di rumah-rumah. Akibatnya, batik Pekalongan menyatu erat dengan kehidupan masyarakat Pekalongan yang kini terbagi dalam dua wilayah administratif, yakni Kotamadya Pekalongan dan Kabupaten Pekalongan.

Pasang surut perkembangan batik Pekalongan, memperlihatkan Pekalongan layak menjadi ikon bagi perkembangan batik di Nusantara. Ikon bagi karya seni yang tak pernah menyerah dengan perkembangan zaman dan selalu dinamis. Kini batik sudah menjadi nafas kehidupan sehari-hari warga Pekalongan dan merupakan salah satu produk unggulan. Hal itu disebabkan banyaknya industri yang menghasilkan produk batik. Karena terkenal dengan produk batiknya, Pekalongan dikenal sebagai KOTA BATIK. Julukan itu datang dari suatu tradisi yang cukup lama berakar di Pekalongan. Selama periode yang panjang itulah, aneka sifat, ragam kegunaan, jenis rancangan, serta mutu batik ditentukan oleh iklim dan keberadaan serat-serat setempat, faktor sejarah, perdagangan dan kesiapan masyarakatnya dalam menerima paham serta pemikiran baru.

Batik yang merupakan karya seni budaya yang dikagumi dunia, diantara ragam tradisional yang dihasilkan dengan teknologi celup rintang, tidak satu pun yang mampu hadir seindah dan sehalus batik Pekalongan.


Pekalongan Kota Batik



Asal Usul Pekalongan
Asal usul nama Kota Pekalongan sebagaimana diungkapkan oleh masyarakat setempat secara turun temurun terdapat beberapa versi. Salah satunya disebutkan adalah pada masa Raden Bahurekso sebagai tokoh panglima Kerajaan Mataram. Pada tahun 1628 beliau mendapat perintah dari Sultan Agung untuk menyerang VOC (Vereenigde Oost Indishe Compagnic / Perserikatan Maskapai Hindia Timur) di Batavia. Maka ia berjuang keras, bahkan diawali dengan bertapa seperti kalong / kelelawar (bahasa Jawa : topo ngalong) di hutan Gambiran (sekarang : kampung Gambaran letaknya disekitar jembatan Anim dan desa Sorogenen).Dalam pertapaannya diceritakan bahwa Raden Bahurekso digoda dan diganggu Dewi Lanjar beserta para prajurit siluman yang merupakan pengikutnya. Namun semua godaan Dewi Lanjar beserta para pengikutnya dapat dikalahkan bahkan tunduk kepada Raden Bahurekso. Kemudian Dewi Lanjar, yang merupakan utusan Ratu Roro Kidul memutuskan untuk tidak kembali ke Pantai Selatan, akan tetapi kemudian memohon ijin kepada Raden Bahurekso untuk tinggal disekitar wilayah ini. Raden Bahurekso memenuhi permohonan ini bahkan Ratu Roro Kidul juga menyetujuinya. Dewi Lanjar diperkenankan tinggal dipantai utara Jawa Tengah. Konon letak keraton Dewi Lanjar dipantai Pekalongan sebelah sungai Slamaran. Sejak saat itu, daerah tersebut terkenal dengan nama Pekalongan.

Dalam versi lain disebutkan bahwa nama Pekalongan berasal dari istilah setempat HALONG - ALONG yang artinya hasil yang berlimpah. Jadi Pekalongan disebut juga dengan nama PENGANGSALAN yang artinya pembawa keberuntungan. Nama Pengangsalan ini ternyata juga ada dalam babad Mataram (Sultan Agung) , yaitu :

"Gegaman wus kumpul dadi siji, samya dandan samya numpak palwa, gya ancal mring samudrane, lampahe lumintu, ing Tirboyo lawan semawis, ing Lepentangi, Kendal, Batang, Tegal, Sampun, Barebes lan Pengangsalan. Wong pesisir sadoyo tan ono kari, ing Carbon nggertata".

Artinya : "senjata-senjata telah berkumpul jadi satu. Setelah semuanya siap, para prajurit diberangkatkan berlayar. Pelayarannya tiada henti-hentinya melewati Tirbaya, Semarang, Kaliwungu, Kendal, Batang, Tegal, Brebes dan Pengangsalan. Semua orang pesisir tidak ada yang ketinggalan (mereka berangkat menyiapkan diri di Cirebon untuk berangkat ke Batavia guna menyerbu VOC Belanda)".

Produk Unggulan
1. Batik
Sebagaimana telah kita ketahui, Pekalongan dikenal sebagai "Kota Batik" mempunyai potensi besar dalam kegiatan pembatikan dan telah berkembang begitu pesat, baik dalam skala kecil maupun besar. Hasil produksi batik Pekalongan juga menjadi salah satu penopang perekonomian Kota Pekalongan. Corak dan warna yang khas dari produk Batik Pekalongan telah menjadikan kerajinan Batik Pekalongan semakin dikenal. Industri dibidang batik ini telah mampu mengeksport ke berbagai negara antara lain Australia, Amerika, Timur Tengah, Jepang, Cina, Korea dan Singapura.Bagi pecinta batik, Pekalongan merupakan tempat yang tepat untuk mencari batik dan aksesorisnya, karena Pekalongan adalah tempat pasar batik, butik batik serta grosir batik, baik batik asli (batik tulis) maupun batik cap, batik printing, batik painting maupun sablon dengan harga bervariasi.Industri ini memberikan sumbangan yang besar terhadap kemajuan perekonomian di Pekalongan dengan mayoritas dari home industri.

2. Industri konveksi
Disamping batik, Pekalongan juga banyak terdapat industri konveksi. Jumlah industri ini menyebar mulai dari Kedungwuni, Tirto, Bojong, Wiradesa, Buaran, Klego dan Landungsari. Sumbangan dari industri konveksi Pekalongan cukup besar dalam pengadaan pakaian di dalam negeri. Para pengusaha, yang kebanyakan adalah home industri, turut andil mensuplay beberapa grosir besar antara lain Grosir Tanah Abang di Jakarta, Tegal Gubuk di Cirebon (Jawa Barat), Pasar Klewer di Solo (JawaTengah) dan juga tempat lainnya. Produk industri ini berupa pakaian jadi baik dari batik maupun non batik antar lain : sarung, hem, busana wanita, pakaian anak, seprei, telapak meja, jeans dan lain - lain.

3. Pertenunan ATBM ( Alat Tenun Bukan Mesin )
ATBM merupakan industri kecil dengan hasil produksinya antara lain : handuk, kain ihrom, interior rumah dan lain - lain. Produksinya telah memasuki pangsa eksport antara lain : ke Jepang, Singapura, Amerika dan Eropa.

4. Kerajinan serat alam
Dengan bahan baku berupa enceng gondog, pelepah pisang dan gedebog pisang, serat nanas serta serat alami lainnya, para pengusaha kecil memanfaatkannya untuk berbagai kerajinan seperti tas, baju, interior rumah dan lain - lain.

5. Industri pengolahan ikan
Industri pengolahan ikan juga merupakan salah satu sektor andalan dari Pekalongan. Sektor ini terdiri dari :
a.Pengalengan ikan
b.Penggaraman / pengeringan ( penggerehan )
c.Pembekuan ikan
d.Pemindangan
e.Pengolahan dan pengawetan ikan

Kesenian dan Kebudayaan
1. Tari sintren
Sintren adalah kesenian tradisional masyarakat Pekalongan dan sekitarnya, merupakan sebuah tarian yang berbau mistis / magis yang bersumber dari cerita cinta kasih Sulasih dan Raden Sulandono. Tersebut dalam kisah bahwa Raden Sulandono adalah putra Ki Bahurekso hasil perkawinannya dengan Dewi Rantansari.Raden Sulandono memadu kasih dengan Sulasih seorang putri dari Desa Kalisalak, namun hubungan asmara tersebut tidak mendapat restu dari Ki Bahurekso. Akhirnya Raden Sulandono pergi bertapa dan Sulasih memilih menjadi penari. Meskipun demikian pertemuan diantara keduanya masih terus berlangsung melalui alam goib. Pertemuan tersebut diatur oleh Dewi Rantansari yang memasukkan roh bidadari ke tubuh Sulasih, pada saat itu pula Raden Sulandono yang sedang bertapa dipanggil rohnya untuk menemui Sulasih, maka terjadilah pertemuan diantara Sulasih dan Raden Sulandono.Sejak saat itulah setiap diadakan pertunjukan sintren sang penari pasti dimasuki roh bidadari oleh pawangnya. Sintren diperankan seorang gadis yang masih suci (perawan), dibantu oleh pawangnya dan diiringi gending 6 orang. Pengembangan tari sintren sebagai hiburan rakyat, kemudian dilengkapi dengan penari pendamping dan pelawak.

2. Simtud durar
Simtud durrar merupakan kesenian tradisional yang bernafaskan Islam dengan menggunakan Rebana dan Jidur sebagai alat musiknya. Kesenian ini beranggotakan antara 15 orang hingga 20 orang, dengan diiringi musik mereka melantunkan puji-pujian atau sholawatan sebagai ungkapan syukur dan permohonan keselamatan dunia dan akhirat pada Allah SWT. Kesenian ini biasa digunakan pada saat pembukaan acara hajatan atau selamatan yang diselenggarakan oleh warga masyarakat Kota Pekalongan yang terkenal dengan ketaatannya dalam menjalankan perintah agama.

3. Kuntulan
Kuntulan merupakan kesenian tradisional yang bernafaskan Islam yang dimainkan oleh 18 orang yang semuanya adalah laki-laki. Posisi ke-18 orang ini dalam melakukan tarian adalah 9 orang di depan dan 9 orang di belakang. Hal tersebut dimaksudkan akan mengandung makna Asmaul Khusna yaitu 99 sifat Allah SWT.

4. Sya'banan (Khol)
Sya'banan (khol) adalah upacara keagamaan / kebudayaan di daerah Pekalongan yang diselenggarakan setiap tanggal 14 sya'ban (ruwah) setahun sekali untuk mengenang / mengingat jasa- jasa Sayid bin Abdullah bin Abdullah bin Tholib Al Atas, semasa hidupnya merintis pendirian Pondok Pesantren di Pulau Jawa.

5. Syawalan
SyawalanAdalah upacara adat bagi umat Islam yang berada di Pekalongan dan sekitarnya untuk menyaksikan pemotongan LOPIS BESAR (bahasa Jawa : LEPET GEDE) yang mempunyai ukuran diameter kurang lebih 150 cm, berat 185 kg dan tinggi 110 cm. Kegiatan ini diselenggarakan 1 minggu setelah hari raya Idul Fitri oleh Walikota / Pejabat Muspida.

Makanan Khas
1. Nasi megono (bahasa Jawa : sego megono)
Kota Pekalongan terkenal dengan makanan khasnya yang disebut MEGONO, yaitu sejenis lauk yang terbuat dari nangka muda (gori) yang dicincang halus dicampur dengan urapan kelapa parut dan sambal urapan (kluban). Namun dengan ramuan rempah yang lebih komplit dengan rasa sedikit pedas dan aroma bunga combrang dan irisan serai, akan menimbulkan rasa yang khas. Megono ini sangat enak dan cocok sebagai lauk sarapan pagi, cocok juga dipadu dengan lauk apapun juga. Bahkan hanya ditemani dengan tempe goreng dan sambal kecap, rasanya sangat nikmat. Di Kota Pekalongan, Megono sangat mudah dijumpai. Dari warung-warung kaki lima sampai restoran besar hampir semua menyediakan Nasi Megono.

2.Tauto
Tauto adalah makanan khas Pekalongan sejenis Soto, hanya saja untuk Tauto bumbunya ditambah dengan TAUCHO, yaitu sejenis penyedap semacam saus yang mempunyai aroma khas dan bahan pembuatannya dari kedelai. Seperti halnya dengan Soto, Tauto juga dicampur dengan daging dan jerohan serta so'on (sohun), enak sebagai lauk nasi namun lebih enak dimakan pakai lontong. Tauto Pekalongan biasanya banyak dijumpai di warung-warung di Kota Pekalongan pada siang hari.

3. Garang asam
Garang asam adalah makanan sejenis rawon, khas dari daerah Pekalongan. Tetapi untuk garang asam, kuahnya diberi banyak tomat, sehingga memberikan rasa asam namun segar. Garang asam biasanya dicampur dengan daging, jerohan atau telur. Biasanya garang asam dimasak agak pedas, sehingga rasanya tambah nikmat. Di Kota Pekalongan, garang asam sangat mudah dijumpai di warung-warung, terutama pada siang hari.

4. Keripik tahu
Seperti halnya tempe, tahu pun bisa dibuat keripik. Bumbu dan cara pembuatannya tak jauh berbeda. Dengan kerenyahan dan kenikmatan rasanya, membuat keripik tahu cocok untuk lauk (sebagai pengganti kerupuk) dan cocok juga untuk makanan cemilan. Keripik tahu banyak dijumpai di toko-toko makanan di daerah Pekalongan dan sekitarnya.

Obyek Wisata
1.Pantai Pasir Kencana
Pantai Pasir Kencana merupakan obyek wisata pantai tempat para turis domestik maupun asing biasa bersantai sambil menikmati udara pantai yang sejuk. Pantai ini cocok untuk rekreasi bersampan dan memancing dengan perahu pesiar yang siap melayaninya. Tersedia pula fasilitas mainan anak-anak, panggung terbuka, areal parkir, musholla, mck dan kamar mandi.

2. Obyek Wisata Linggo Asri
Panorama alami dan udara yang sejuk menjadi ciri khas obyek Wisata Linggo Asri yang terletak di sebelah selatan kecamatan Kajen kabupaten Pekalongan pada ketinggian 700 m dari permukaan air laut. Perpaduan potensi alam, pegunungan dan hutan wisata serta kondisi masyarakat yang masih pedesaan menjadi faktor yang menarik untuk dinikmati. Disamping itu, letak yang cukup menguntungkan di tepi jalan antara kabupaten Pekalongan dan Banjarnegara sehingga memudahkan bagi wisatawan untuk berkunjung.

3. Obyek Wisata Petung Kriyono
Merupakan obyek wisata yang berlokasi di lereng Gunung Raga Jambangan pada ketinggian 900-1600 m dari permukaan laut. Sebuah kawasan yang sejuk dengan keragaman, kemolekan dan keindahan alam yang cocok untuk tempat wisata. Dari ibukota kabupaten Pekalongan berjarak 30 km dan dapat dicapai dengan kendaraan umum. Sebagai kawasan agrowisata, Petung Kriyono merupakan lokasi yang memberikan banyak pilihan untuk pemenuhan hasrat berwisata alam. Di kawasan ini Anda dapat memperoleh pengalaman melakukan penjelajahan alam dan kegiatan outbond.

4. Obyek Wisata Curug Muncar
Dikenal sebagai daerah yang sangat eksotis dengan keindahan air terjun dan pemandangan alamnya. Air terjun Curug Muncar ini banyak sekali dikunjungi oleh para wisatawan dan para pecinta alam.

5. Obyek Wisata Rogoselo
Wisata Alam Rogoselo terletak kurang lebih 14 km dari ibu kota Kecamatan Doro tepatnya di Desa Rogoselo. Wisata berupa petilasan / cagar alam Arca Baron Sekeber dan Makam Ki Ageng Atas Angin.Menurut cerita rakyat, Baron Sekeber adalah seorang sakti dari sebuah negeri di Eropa yang datang ke pulau Jawa ingin menjajal kesaktiannya. Dalam setiap pertarungan, Baron Sekeber selalu menang, sudah banyak pendekar dan orang sakti di tanah Jawa yang ia kalahkan. Hingga suatu hari ia dapat dikalahkan oleh Ki Ageng Atas Angin.

6. Obyek Wisata Alam Lolong
Wisata Alam Lolong terletak kurang lebih 6 Km dari kota Kecamatan Karanganyar. Potensi wiasata ini juga didukung dengan adanya buah durian yang sudah cukup terkenal pada setiap musimnya.

7. Obyek Wisata Pantai Wonokerto
Pantai Wisata Wonokerto terletak kurang lebih 5 km dari jalan raya Wiradesa arah utara tepatnya di Desa Wonokerto Kecamatan Wonokerto. Pada bulan Dhulkaidah di tempat ini biasa diadakan acara sedekah laut yang diadakan oleh masyarakat nelayan setempat.

8. Pantai Slamaran Indah
Obyek wisata Slamaran Indah merupakan daerah pesisir yang bisa memberikan rasa sejuk dan nyaman. Menurut cerita yang sudah melegenda, daerah ini memiliki "penunggu", yaitu Dewi Lanjar sebagai Ratu Pantai Utara. Konon Dewi Lanjar sering menampakkan diri dengan paras yang cantik jelita tiada bandingannya.

9. Bumi Perkemahan
Dengan luas 4 hektar, Camping Ground yang berada di dusun Dranan desa Yosorejo disediakan bagi para pecinta alam, pelajar maupun para wisatawan yang dilengkapi dengan MCK, Pendopo, Pos Jaga dan tempat bermain.

Dari berbagai macam asal usul nama kota ini terbukti bahwa Kota Pekalongan telah lama berdiri sehingga tidak ada keraguan lagi untuk mengenalnya lebih dalam. Sejalan dengan rebrandingnya sebagai The World’s City of Batik maka Kota Pekalongan siap menyambut kedatangan Anda untuk menikmati “atmosfir” batik di kota ini.