Rabu, 29 Agustus 2012

Merdeka Untuk (Bangsa) Orang Indonesia

Indonesia pada hari jumat tanggal 17 Agustus 2012 tepatnya kita semua warga Indonesia menyambut kemerdekaan RI yang ke 67. Umur 67 tahun itu bagaikan seorang anak yang mengalami jatuh bangun dalam perjalanan hidupnya untuk tumbuh besar menjadi dewasa. Indonesia pun seperti itu, inilah negeri yang menjadikan Dunia besar. Banyak jenis kegiatan yang kita lakukan dalam memperingati hari kemerdekaan Indonesia kita tercinta ini. Banyak yang menyambutnya dengan upacara bendera, penghormatan kepada para veteran yang setiap moment peringatan kemerdekaan selalu menonjol dalam pemberitaan dimedia, lomba lomba yang dilakukan disetiap kampung yang diiringi dengan suka cita dan sebagainya. Namun disini akan menampilkan sisi positif dalam menyambut hari kemerdekaan Indonesia yang ke 67 tahun. Sudut pandang para pakar dunia di bidang ilmu sosial, ilmu politik, ilmu ekonomi, dan kebudayaan sudah sangat terbukti “terjebak” dan berpandangan negative dalam mempresepsikan bagaimana keadaan Indonesia saat ini. Keadaan yang dianggap tidak jauh beda dengan keadaan sebelum Bangsa ini merdeka dari tangan penjajah. Persepsi serupa juga sering saya jumpai pada orang Indonesia itu sendiri, mereka masih menganggap keadaan Indonesia yang sudah merdeka ini masih “dijajah”dan belum benar benar merdeka. 

Orang Indonesia dan dunia luar pada umumnya membayangkan keadaan Indonesia adalah kampung kampung setengah hutan yang kumuh kotor dan bau, banyak orang yang terduduk ditepi jalan karena busung lapar, orang miskin yang mati kelaparan, mayat-mayat bergeletakan, perampok disana sini, orang berbunuhan karena berbagai macam sebab, Negara yang dibayangkan seperti negara antah berantah, carut marut sana sini tak bisa diatur. Negeri yang penuh duka dan kegelapan. Padahal arti merdeka untuk Bangsa dan Orang Indonesia adalah sesuatu yang nyata. Padahal dimuka bumi ini tak ada orang bersukaria melebihi orang Indonesia. Tak ada orang berjoget joget gembira siang malam melebihi bangsa Indonesia. Tak ada masyarakat berpesta, tertawa tawa, ngeses baass buuss baass buuss, jagongan, cangkrukan, serta semua macam bentuk kehangatan hidup melebihi kebiasaan masyarakat kita dan budaya semacam itu sungguh memang hanya terdapat di kepulauan Nusantara. Merdekannya Bangsa Indonesia sama seperti merdekannya orang Indonesia. Apakah kata seperti ini bisa dikatakan bangsa Indonesia belum merdeka? “Tak ada anggaran biaya pakaian dinas pejabat melebihi yang ada di Indonesia? tak ada hamparan mobil mobil mewah melebihi yang terdapat di Indonesia?, import sepeda motor apa saja dijamin laku, berapa jutapun yang didatangkan dinegeri ini. 

Disegala segi Indonesia itu sudah seharusnya benar benar “merdeka”. Alamnya tidak ada jengkal tanah lain dibumi yang suburnya melebihi tanah Indonesia. Dalam sebuah album musik pernah saya mendengarkan liriknya menyebut Indonesia sebagai “penggalan sorga”, yang menggambarkan penghuni tanah air ini berleha leha : “Lir ilir, tandure wus sumilir, tak ijo royo royo tak senggo temanten anyar …”, adapun lirik lagu koes plus: “Bukan lautan hanya kolam susu, kail dan jala cukup menghidupimu … Tongkat dan kayu jadi tanaman, ini menunjukan Indonesia adalah negara yang kaya raya, ini seharusnya yang bisa kita ambil intinya untuk membangun Indonesia agar benar benar merdeka dari segala bentuk penjajahan yang ada. Hal lain yang bisa diungkapkan untuk menularkan virus virus optimisme bagi bangsa dan orang Indonesia adalah dengan tetap memaknai kemerdekaan Indonesia yang sudah berumur 67 dengan rasa percaya diri dan sikap optimis. Saatnya kita sebagai pemuda yang notabene sebagai penerus bangsa atau golongan emas harus memberikan kontribusi nyata untuk Bangsa ini kedepannya, mengutip dari quote seseorang “Pemuda pemudi yang malas, yang sombong, yang tidak perduli kepada lingkungan dan rakyatnya, akan lebih baik jika ia berdoa supaya tuhan cepat mengambil nyawanya”, quote itu memberikan tanda kepada kita atau pemuda agar bisa tetap peduli pada lingkungan (bangsa) dan rakyatnya (orang Indonesia) agar kemerdekaan yang telah mutlak kita dapatkan bisa benar benar menjadi suatu hal baik yang kita inginkan untuk masa depan Indonesia.

RUDDY PRASOJO
Kementerian Sosial Politik
BEM ITS TRANSFORMATION
sumber gambar : google

Lilin angka 17


Aku masih di rumah, dalam kamar yang daun jendelanya terbuka satu saja. Separoh ditutup dengan gordyn, dan terdapat pula teralis besi yang seakan-akan menghalangiku menyambut dunia. Di mataku selarik warna jingga hinggap begitu lama. Ia menari dan berputar bersama kedipan mataku yang memandang entah ada apa gerangan. Sesekali ia juga berjingkat ketika mataku memicing sebelah atau dua-duanya, agak panas, hampir seperti kemasukan debu, tapi tak ada air mata yang membilas mataku yang perih ini.

Di balik pintu rumah ku terdapat berbagai kegiatan yang di lakukan orang-orang di rumahku. Seperti memasak dan menggoreng sesuatu. Entah sejak kapan, aku masih mendengar gemericak minyak kena panas api. Sementara bapak seakan-akan memanggilku keras-keras dengan suara yang seperti bukan memanggilkan namaku. Dia memanggilku lewat loncatan-loncatan suara seperti suara orang mengaji di speaker. Dengan sengaja menekankan kata-kata tertentu yang aku tak pernah paham artinya bila tidak menyimak pelan-pelan.

Suara minyak kepanasan dan suara orang seperti mengaji di speaker, berloncatan menari-nari seirama kedipan mataku bersama jingga duiluar sana. Entah pagi entah petang. Seakan-akan aku cuma merasakan sebuah perjalanan yang sangat panjang. Aku merasa tidak seorangpun di rumah ini yang menghiraukanku. Tidak ada seorang pun yang ingat akan hari ulang tahunku semakin dekat. Aku bisa dikatakan anak orang yang sangat berada. Aku anak tunggal, kalau biasanya anak tunggal penuh dengan keistimewaan, tapi bagiku itu semua tidak berlaku. Orang tuaku tidak mengajarkan untuk manjanjakanku. Dengan hati yang berdeguk kencang aku mendekati ibu hendak membicarakan tentang hari ulangtahunku yang semakin dekat, tapi seakan-akan pikiran ibu hanya tertuju pada penggorengan nya. Aku coba mengerti kondisi keluargaku.Orangtuaku memang biasanya sibuk, tapi kali ini mereka tidak mau menyia-nyiakan waktu yang hanya sebentar di rumah untuk bersantai. Aku pikir mereka lupa karena sibuk dengan apa yang dilakukan mereka masing-masing.
***

Keesokan harinya, tepatnya Hari Minggu para sahabatku dekatku datang kerumah, merka datang biasa lah hanya untuk bermain dan silaturahmi, mereka adalah Ganes, Fafa, Rifat, Vika dan Elika.
“Rim..Rima…” panggil ibuku keras.

Dengan segera aku menghampiri ibuku.

“Ada apa bu ?” tanya rima bernada heran.

“Ini lho, teman-temanmu di buatkan minuman, kasihan meraka pasti kehausan”.

“Iya bu, pasti ku buatkan es sirup yang manis” sautku cepat.

Dua jam berlalu, yang kami lakukan hanya bercerita, bermain, dan membicarakan orang saja, he..he.. biasa kelakuan anak muda zaman sekarang. Pada saat itu waktu terbuang hanya untuk bicara dan bicara. Fafa tiba-tiba saja mendekatiku dengan lagat yang sangat aneh, dia tersenyum sambil mendekatiku perlahan. Awalnya dia hanya bertanya-tanya tentang kegiatan sehari-sehariku di sekolah, bagaimana hasil ulangan matematikaku kemarin, tapi semakin lama pembicaraanya semakin menyinggung hari ulang tahunku yang semakin hari semakin dekat, yaitu empat hari lagi. Aku merasa Fafa sangat memperhatikanku. Fafa memang salah satu dari lima sahabatku yang sangaat dekat denganku. Kemungkinan besar aku menyimpan perasaan lain padanya. Tapi aku juga tidak tahu apakah Fafa juga sama perasaanya denganku.Sampai Fafa menawariku sebuah ide yang menurutku sangat menarik dan sangat menantang, yaitu berlibur di Desa Kalibagor yang terletak di daerah Kabupaten Banyumas Purwokerto. Kegiatan kita itu untuk berlibur mengisi kekosongan, karena hari Senin sampai hari jumat sekolah kami libur karena ada try out persiapan kelas 3 Ujian Nasional. Rencananya jika kita jadi berangkat kesana kita akan menginap di rumah nenek Elika yang tempatnya cukup luas dan sangat asri itu, maklum karena di daerah pedesaan.

Malam harinya aku meminta ijin pada orangtuaku saat kami sedang berkumpul di ruang tengah.

“Pak..bu.. Rima mau bicara sesuatu nih” tanyaku agak takut.

“Bicara apa rim, jangan-jangan uang jajanmu habis ya. Kamu mau minta lagi?” jawab bapak sambil membaca koran.

“Nggak pak, bukan itu yang mau Rima bicrakan,Rima cuma mau minta ijin boleh tidak aku dengan Ganes, Fafa, Rifat, Vika dan Elika pergi berlibur ke rumah neneknya Elika di Purwokerto, tepatnya di Kabupaten Banyumas?” sambil aku menelan ludah.

“Apa ! pergi ke Purwokerto? , itu kan sangat jauh Rim dari Pekalongan?, Bapak tidak mengijinkan kamu pergi. Bapak dan ibumu ini kuatir, nanti kalau kamu kenapa-kenapa disana nanti bapak dan ibumu juga yang akan repot” jawab bapak tegas.

“Tapi minggu depan kan libur lima hari pak?, masa Rima cuma diam aja di rumah? Rima bakalan hati-hati kok pak, apalagi sekarang handphone sudah ada fasulitas 3G nya, jadi bapak dan ibu bisa mengontrol rima dari jauh?”. Kataku dengan nada menyakinkan.

“Sudahlah Rim, bapak dan ibumu ini takut kamu kenapa-napa. Apalagi kamu anak ibu satu-satunya. Ibu lebih setuju kamu dirumah saja” sambung ibu menasihatiku.

“Bapak dan ibu ngga ada yang bisa ngertiin perasaan Rima!!!” sambil berlari menuju kamar.
***

Keesokan harinya, tepatnya Hari Senin, aku bangun dengan jiwa berpengharapan pikiran bapak dan ibu berubah. Sejenak hatiku terasa ringan ketika merasa seharusnya ada sesuatu yang "manis" untukku hari ini. Semalam, aku memang tidur lebih cepat. Karena semalam aku marah kepada kedua orang tuaku.. Perasaan itu membuatku segera terbang ke kamar mandi. Kucuran air membuatku terasa lebih nyaman untuk melupakan masalahku semalam. Lalu kubiarkan busa sabun menjilati tubuhku yang telanjang. Membilasnya. Membelitkan handuk di tubuhku. Mengenakan pakaian dan berkaca. Tiba-tiba hand phoneku berbunyi, ternyata telepon dari Elika yang menanyakan kembali apakah aku dijinkan ikut berlibur ke Purwokerto. Tapi sayangnya aku tidak bisa ikut dengan para sahabatku berlibur ke Purwokerto. Dengan hati yang kecewa aku menolak ajakan dari Elika itu. Entah rasa apa saja yang membuat aku menjadi seakan-akan menyesal karena tidak ikut. Bukan sahabat namanya jika tidak memberi saran dan ide-ide gila. Kelima sahabatku memberitahuku bagaimana caranya aku supaya bisa ikut. Mereka menyuruhku untuk kabur dan lari dari rumah. Mereka menyuruhku kabur dari rumah pukul 04.00 pagi, saat bapak, ibu, mbok minah, pak yadi dan supirku pak dadang sedang tertidur pulas. Dan para sahabatku menunggu di pinggir perempatan rumahku dengan menunggu di dalam mobil yang dibawa Ganes. Akhirnya aku setuju dengan saran sahabatku.
***

Pagi harinya, tepatnya hari selasa, dengan cukup bekal yang ku bawa dari rumah, aku kabur dari rumah tanpa sepengetahuan orang yang ada di rumah. Dan aku hanya meninggalkan sepucuk surat saja di dekat kasur kamarku. Petualanganku dengan para sahabatku di mualai. Dengan hati yang senang aku dan temanku meluncur pergi ke Purwokerto. Kami perkirakan sampai ke Purwokerto sekitar 4 jam perjalanan, karena Ganes menyetir mobilnya pelan dan santai saja. Hendak memasuki kawasan Bantarbolang kami sudah di suguhi berbagai pemandangan hutan-hutan yang sangat rindang.Ini sudah lewat setengah hari, begitu ibu membatin dalam hati dengan perasaan curiga. Tetapi kenapa Rima belum juga keluar dari kamarnya? Apa marahnya hingga separah ini?. Lewat jam makan siang, ibu mulai merasa ada yang aneh denganku di kamar. Akhirnya ibu menghampiri kamarku , tapi yang ibu temukan hanya sepucuk surat dariku yang berisi meminta ijin untuk pergi berlibur. Ibu memberikan surat itu pada bapak, dan bapak hanya berkomentar,

“Biarlah, ini kan sudah terlanjur, Rima sudah besar, dia bisa menjaga dirinya sendiri”.

Sampai di daerah Belik , yang penuh dengan belokan-belokan tajam, hutan yang asri, hijau, indah, sejuk, tiba-tiba mobil ganes mogok. Sejenak kami berhenti beristirahat sambil menunggu Ganes Rifat dan Fafa membetulkan mobil. Tapi sayangnya mobil ganes tidak bisa menyala. Akhirnya kita berjalan menyusuri jalan yang menuju kedalam hutan. Pikir kami banyak rumah penduduk disana. Tak berapa lama Vika, dan Elika kelelahan, dia minta beristirahat. Tanpa kusadari aku melihat ada sebuah rumah besar dengan kondisi usang dan berantakan yang diperkirakan sudah tidak ada penghuninya dan hanya ada satu di sepanjang jalan itu. Hari semakin gelap, kami memutuskan untuk bermalam di situ. Kami semua masuk dengan merusak pintu tanpa ijin terlebih dahulu kepada pemilik rumah, pikir kami rumah kosong ya tidak ada penghuninya. Jadi kami masuk dan membersikan ruangan yang ada di dalam. Ternyata ruangan yang didalam cukup besar, cukup air dan tempat untuk menginap semalam. Apakah yang menarik di sebuah tempat bernama rumah kosong?, selain pohon-pohon kamboja, pohon-pohon tinggi menjulang, lirih angin mencekam, dan sunyi menikam? Siapa pula yang mau menyambangi tempat beraroma angker iseperti ini, pikirku sejenak.
***

Suatu pagi, tepatnya Hari Rabu ketika aku membuka pintu belakang untuk mandi dan mengecek ruangan, aku kaget melihat seorang laki-laki bercaping, berbaju hitam, seperti hendak ke sawah ada di dekat sumur. Saat itu matahari belum utuh menyembul dari ufuk timur, tapi dia seperti sedang terdiam. Kuamati gerak-geriknya dari balik pintu lapuk. Dia sedang menyingkirkan daun-daun kering yang berserak di atas sumur dan mencabuti rumput liar yang tumbuh di sekelilingnya. Cuaca ramah waktu itu. Angin berhembus sepoi. Sinar matahari perlahan menyibak rindang pohon pohon besar. Jatuh di tubuhnya berupa pendar-pendar cahaya dan siluet dedaunan. Seekor kupu-kupu kuning, entah dari mana datangnya, terbang rendah sebelum hinggap di sudut sumur. Dari belakang pintu, mataku tak berkedip merekam pemandangan itu.

“Woi, sedang apa Rim kamu ini, macam detektif saja caramu mengamati?” kaget Vika dari belakang.

“Coba lihat deh vik, ada orang di dekat sumur tua itu”. jawabku heran.

“Mana?, aku gak lihat. Ah…mungkin cuma perasaan kamu aja, yaudah ayo kita nimba air buat mandi”. jawab vika sambil menarik tanganku.

“Tapi beneran Vik… aku ngga bohong!!” jawabku lagi sambil beranjak dari tempat itu.

Tak berapa lama Rifat berteriak keras, hingga mengagetkan kami.

“Ganes hilang… Ganes Hilang…”.

”Fat kamu yang bener aja, aku masih ngantuk ni…ada apa sih“ Tanya Fafa.

“Beneran Fa, kamu bangun dulu deh. Buktinya ganes ngga ada kan, dan ada bercak ceceran darah di sepanjang tempat tidur Ganes semalam hingga menuju ke sumur”.

“Waduh..cepetan cari Ganes Fat, teman-teman ayo cari Ganes, Ganes hilang!!!”.

“Apa??? Hilang…??, oke, aku kearah depan” sambung Elika.

Fafa, Rifat, Elika, Vika dan Rima mencari-cari Ganes, hingga malam Ganes belum di temukan.Akhirnya mereka sepakat untuk tidur saling berdekatan, agar tidak terjadi hal seperti hal yang di alami Ganes. Malam harinya tidak seorangpun dari kelima orang tersebut bisa tidur. Rima menceritakan apa yang dia lihat tadi pagi di dekat sumur. Banyak dari mereka tidak percaya, mereka pikir Ganes hanya tersesat di suatu tempat. Sekitar pukul 11.45 ada suara-suara aneh terdengar di balik pintu belakang. Seperti suara orang jalan menyusuri lorong menuju ke arah kita. Bau amis dan juga busuk terbawa angin. Ternyata benar, ada seorang lelaki berbadan tinggi, besar, hitam, membawa pisau dan golok, becaping, dan bergigi seperti setan menuju ke arah kami. Kami semua takut,dan berlari berpisah satu sama lain. Fafa ke arah kamar tengah bersama Vika, Rifat berlari ke lantai dua, sedangkan aku dan Elika berlari masuk ke dalam kamar yang ada di depan.Suara orang tadi tiba-tiba hilang seketika, tiba-tiba “toooloooooong…” aku dan Elika hanya mendengar suara Fafa dan Vika berteriak minta tolong, “aaaaakkkk…” dan sejenak suara mereka berhenti. Elika yang saat itu sedang bersama dengan aku mempunyai pikiran bahwa Fafa dan Vika telah di bunuh oleh orang tersebut, begitu juga nasib Ganes. Tiba-tiba suara pembunuh tadi terdengar di depan pintu kamar yang merupakan tempat aku bersembunyi,

“Barang siapa berani masuk kerumahku, kalian akan menjadi korbanku berikutnya Huahahahahahahauahauahauahaaa…".

Suara itu terdengan seperti hendank meruntuhkan tembok.

“Rim salah satu dari kita harus mengalihkan perhatian pembunuh itu, agar salah satu dari kita selamat, aku saja yang jadi umpannya, nanti kamu langsung keluar lewat jendela” kata Elika.

“Jangan El.… kita semua pasti selamat, kita pasti bisa keluar dari sini bersama-sama. Aku ga mau kehilangan sahabatku lagi, aku sudah kehilangan Ganes, Fafa, Rifat, dan Vika, Cuma kamu sahabatku yang tersisa”. Kata Rima sambil menangis dan memeluk Elika.

“Nggak!!! aku tetap akan keluar, sudah, jangan halangi aku Rim. Cepat kamu keluar dari sini” kata Elika sambil menagis.

“Aaaaakk…” terdengar suara selang beberapa saat setelah Elika keluar.Karena tidak bisa berbuat apa-apa, Rima merelakan Elika menjadi korban sebagai umpan. Tapi Rima pada saat itu tidak mau pergi dari tempatnya. Dengan sejenak berpikir di tengah ketakutan, dia akhirnya memilih untuk ikut mati juga bersama-sama sahabatnya. Dengan rasa takut dan rasa sedih, dia akhirnya keluar kamar. Setelah keluar dari kamar dia dikejutkan dengan bunyi jam pas pada pukul 00.00 dan pembunuh tadi berada hadapanya dengan sebilah celurit hendak membunuh Rima sebagai korban berikutnya. Lampu yang ada di ruang tengah menyala dengan terangnya. Tiba-tiba… “Selamat Ulang tahun Rima… Selamat ulang tahun” . Rima melihat para sahabat dan kedua orangtuanya ada di hadapanya sambil membawa sebuah roti ulangtahun yang di atasnya terdapat lilin angka 17. Perasaan dia begitu bercampur aduk, dari takut, bingung, sedih, senang. Tapi dia menyadari bahwa semua itu merupakan rencana yang sudah di atur oleh para sahabatnya. Pada waktu itu Ganes hilang semata-mata hanya untuk memberi tahu orang tuanya Rima tentang rencana yang di buat oleh teman-temannya Rima. Mata Rima tiba-tiba berlinam air mata kebahagiaan itu merupakan saat-saat terbaiknya. Rima bersyukur atas apa yang telah orangtuanya dan teman-temnya berikan. Sangat beruntung Rima mempunyai sahabat dan orangtua seperti mereka.
***

cerpen karya : ruddy prasojo 
sumber gambar : google